EKONOMI SYARIAH













Saat ini, kehidupan ekonomi telah menjadi standar kehidupan individu dan kolektif suatu bangsa-negara. Keunggulan suatu Negara diukur berdasarkan tingkat kemajuan ekonominya. Ukuran derajat keberhasilan menjadi sangat materialistik. Oleh karena itu, ilmu ekonomi menjadi sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa. Sekalipun demikian, pakar ekonomi Sekaliber Marshal menyatakan bahwa kehidupan dunia ini dikendalikan oleh dua kekuatan besar, yaitu ekonomi dan keimanan (agama). 

Pandangan Marshal tersebut diperkuat oleh Peter Schmiedel (Wirtchaftsethik als brucke zwischen westlicher Vernunftethik und islamischem Denken, University of Bamberg press,2009) yang mengatakan bahwa kekuatan ekonomi tidak lagi terfokus pada kekuatan material semata, tetapi mengupayakan cara ilmu ekonomi itu bisa menyatu dengan kekuatan etika dan spiritual atau dikenal dengan integrative business and spirituality. Selaras dengan Schmiedel, menurut Jeffrey Seglin, hanya system ekonomi berbasis etika dan moral yang layak tampil mengelola system ekonomi global. 

System ekonomi yang bisa menyelaraskan aspek material dan spiritual dapat menghadirkan tatanan ekonomi yang lebih harmonis dan berkeadilan, tidak berorientasi material dan eksploitatif. Dengan demikian, ekonomi syariahlah yang dipandang memiliki prasyarat dan kemampuan untuk membangun tatanan ekonomi yang harmonis dan berkeadilan. Hal ini karena ekonomi syariah sesuai dengan fitrah manusia, yaitu keinginan untuk hidup layak dan serba berkecukupan. 

Dalam pandangan akademik, ekonomi syariah tidak hanya dipandang sebagai system ekonomi yang sesuai dengan fitrah manusia, tetapi lebih dari itu, ekonomi syariah adalah disiplin ilmu yang menyimpan penuh pesona ilmiah. Saat ini, ekonomi syariah telah banyak dikaji oleh kalangan akademik dari berbagai aspek, mulai dari ekonomi makro-mikro, manajemen, perbankan, asuransi, sampai hukum ekonomi. Dari sekian banyak buku ekonomi syariah, sangat sedikit yang mengkhususkan kajian dalam pendekatan filosofis. 

Kajian ekonomi syariah dalam pendekatan filosofis, pada awalnya menjadi diskursus kalangan akademik, yang kemudian dipantulkan menjadi kajian publik. Pendekatan filosofis diperlukan, signifikasinya untuk menemukan roh ekonomi syariah yang berorientasi pada pusat spektrum ash-shalah dalam arti kesejahteraan spiritual dan al-falah dalam arti kesejahteraan material yang berpijak pada ketentuan syariah sebagai penyangganya. 

Ekonomi syariah menempatkan al-falah sebagai tujuan utamanya. Al-falah adalah kesejahteraan lahiriah yang dibarengi kesejahteraan batiniah (ash-shalah), kesenangan duniawi dan ukhrawi, keseimbangan materiil dan immateriil. Tujuan ini memperlihatkan dengan jelas bahwa hakikat ekonomi syariah merupakan rahmat bagi sekalian alam (Rahmatan lil’alamin). Berbeda dengan ekonomi kapitalis dan sosialis yang keduanya berorientasi materialistik, mengesampingkan aspek immateriilnya (spiritual). Walhasil, ukuran kesejahretaan dan kebahagiaan dalam pandangan mereka ditentukan oleh faktor material, tidak ada yang lain. Mereka kaya secara materi tetapi miskin spiritual, mereka melakukan eksplorasi sumber daya alam tetapi menimbulkan bencana, mereka mampu mempunyai sumber daya manusia yang terdidik tetapi tidak berakhlak. Inilah potret-potret ekonomi kapitalis-sosialis dan para pengikutnya. 

Kehadiran ekonomi syariah sebagai sebuah system ekonomi sulutif, bukanlah fatamorgana. Berkembangnya intuisi-intuisi keuangan syariah, merupakan bukti empiris yang tidak bisa terbantahkan. Intuisi-intuisi keuangan syariah, baik bank maupun nonbank merupakan bentuk nyata bahwa nilai-nilai syariah bisa diimplementasikan dalam seluruh sendi kehidupan, termasuk dalam sendi ekonomi. 

Karakteristik intuisi keuangan syariah adalah terbebas dari segala bentuk transaksi ribawi. Transaksi ribawi merupakan salah satu biang kerusakan tatanan keuangan global. Lebih parah lagi, saat ini, transaksi ribawi sudah berkolaborasi dengan transaksi maesyir dan gharar, yang kemudian dikemas secara batil. Selama system keuangan masih menggunakan instrument tersebut, selama itu juga system ekonomi dan keuangan dunia tidak akan pernah berhenti dari krisis dan akan terus bergejolak. Kalupun tenang, itu hanya sebentar, suatu saat akan kembali bergemuruh dan bisa mematikan. 

Ekonomi syariah membebaskan dirinya dari praktik transaksi riba, maesyir dan gharar. Transaksi riba diganti dengan instrument Mudharabah (profit and loss sharing), transaksi maesyir diganti dengan instrument Antaradhim Minkum (kerelaan para pihak yang bertransaksi), dan transaksi gharar diganti dengan transaksi keterbukaan. Kemudian, pada tatanan operasionalnya, instrument tersebut terintegrasi dengan prinsip al-adalah (keadilan), prinsip nubuwiyah (kenabian), prinsip illahiyah (ketuhanan), prinsip hurriyah (kebebasan), dan prinsip iqtishadiyah (keseimbangan ekonomis).