EKONOMI SYARIAH
3 minute read
Saat ini, kehidupan ekonomi telah menjadi standar kehidupan individu dan
kolektif suatu bangsa-negara. Keunggulan suatu Negara diukur berdasarkan tingkat
kemajuan ekonominya. Ukuran derajat keberhasilan menjadi sangat materialistik.
Oleh karena itu, ilmu ekonomi menjadi sangat penting bagi kehidupan suatu
bangsa. Sekalipun demikian, pakar ekonomi
Sekaliber Marshal menyatakan bahwa kehidupan dunia ini
dikendalikan oleh dua kekuatan besar, yaitu ekonomi dan keimanan (agama).
Pandangan Marshal tersebut diperkuat oleh
Peter Schmiedel (Wirtchaftsethik als brucke zwischen westlicher Vernunftethik und islamischem
Denken, University of Bamberg press,2009) yang mengatakan bahwa kekuatan ekonomi tidak lagi terfokus pada kekuatan
material semata, tetapi mengupayakan cara ilmu ekonomi itu bisa menyatu dengan
kekuatan etika dan spiritual atau dikenal dengan
integrative business and spirituality. Selaras dengan
Schmiedel, menurut Jeffrey Seglin, hanya system
ekonomi berbasis etika dan moral yang layak tampil mengelola system ekonomi
global.
System ekonomi yang bisa menyelaraskan aspek material dan spiritual
dapat menghadirkan tatanan ekonomi yang lebih harmonis dan berkeadilan, tidak
berorientasi material dan eksploitatif. Dengan demikian, ekonomi syariahlah yang
dipandang memiliki prasyarat dan kemampuan untuk membangun tatanan ekonomi yang
harmonis dan berkeadilan. Hal ini karena ekonomi syariah sesuai dengan fitrah
manusia, yaitu keinginan untuk hidup layak dan serba berkecukupan.
Dalam
pandangan akademik, ekonomi syariah tidak hanya dipandang sebagai system ekonomi
yang sesuai dengan fitrah manusia, tetapi lebih dari itu, ekonomi syariah adalah
disiplin ilmu yang menyimpan penuh pesona ilmiah. Saat ini, ekonomi syariah
telah banyak dikaji oleh kalangan akademik dari berbagai aspek, mulai dari
ekonomi makro-mikro, manajemen, perbankan, asuransi, sampai hukum ekonomi. Dari
sekian banyak buku ekonomi syariah, sangat sedikit yang mengkhususkan kajian
dalam pendekatan filosofis.
Kajian ekonomi syariah dalam pendekatan filosofis,
pada awalnya menjadi diskursus kalangan akademik, yang kemudian dipantulkan
menjadi kajian publik. Pendekatan filosofis diperlukan, signifikasinya untuk
menemukan roh ekonomi syariah yang berorientasi pada pusat spektrum
ash-shalah dalam arti kesejahteraan spiritual dan al-falah dalam
arti kesejahteraan material yang berpijak pada ketentuan syariah sebagai
penyangganya.
Ekonomi syariah menempatkan al-falah sebagai tujuan
utamanya. Al-falah adalah kesejahteraan lahiriah yang dibarengi
kesejahteraan batiniah (ash-shalah), kesenangan duniawi dan ukhrawi,
keseimbangan materiil dan immateriil. Tujuan ini memperlihatkan dengan jelas
bahwa hakikat ekonomi syariah merupakan rahmat bagi sekalian alam (Rahmatan lil’alamin). Berbeda dengan ekonomi kapitalis dan sosialis yang keduanya berorientasi
materialistik, mengesampingkan aspek immateriilnya (spiritual). Walhasil, ukuran
kesejahretaan dan kebahagiaan dalam pandangan mereka ditentukan oleh faktor
material, tidak ada yang lain. Mereka kaya secara materi tetapi miskin
spiritual, mereka melakukan eksplorasi sumber daya alam tetapi menimbulkan
bencana, mereka mampu mempunyai sumber daya manusia yang terdidik tetapi tidak
berakhlak. Inilah potret-potret ekonomi kapitalis-sosialis dan para pengikutnya.
Kehadiran ekonomi syariah sebagai sebuah system ekonomi sulutif, bukanlah
fatamorgana. Berkembangnya intuisi-intuisi keuangan syariah, merupakan bukti
empiris yang tidak bisa terbantahkan. Intuisi-intuisi keuangan syariah, baik
bank maupun nonbank merupakan bentuk nyata bahwa nilai-nilai syariah bisa
diimplementasikan dalam seluruh sendi kehidupan, termasuk dalam sendi ekonomi.
Karakteristik intuisi keuangan syariah adalah terbebas dari segala bentuk
transaksi ribawi. Transaksi ribawi merupakan salah satu biang kerusakan tatanan
keuangan global. Lebih parah lagi, saat ini, transaksi ribawi sudah
berkolaborasi dengan transaksi maesyir dan gharar, yang kemudian dikemas secara
batil. Selama system keuangan masih menggunakan instrument tersebut, selama itu
juga system ekonomi dan keuangan dunia tidak akan pernah berhenti dari krisis
dan akan terus bergejolak. Kalupun tenang, itu hanya sebentar, suatu saat akan
kembali bergemuruh dan bisa mematikan.
Ekonomi syariah membebaskan dirinya dari
praktik transaksi riba, maesyir dan gharar. Transaksi riba diganti dengan
instrument Mudharabah (profit and loss sharing), transaksi maesyir
diganti dengan instrument Antaradhim Minkum (kerelaan para pihak yang
bertransaksi), dan transaksi gharar diganti dengan transaksi keterbukaan.
Kemudian, pada tatanan operasionalnya, instrument tersebut terintegrasi dengan
prinsip al-adalah (keadilan), prinsip nubuwiyah (kenabian),
prinsip illahiyah (ketuhanan), prinsip hurriyah (kebebasan), dan
prinsip iqtishadiyah (keseimbangan ekonomis).