OUTLOOK & KONSOLIDASI PERBANKAN SYARIAH MENUJU TENGGAT SPIN-OFF 2023
Tenggat
spin-off perbankan syariah semakin dekat, semua bank syariah yang masih
berstatus Unit Usaha Syariah (UUS) Wajib mempersiapkan diri agar dapat memenuhi
tenggat tersebut, termasuk BPD Syariah yang secara umum masih memiliki aset
yang relatif kecil. Lantas bagaimana strategi dan persiapan UUS-UUS tersebut?,
dan bagaimana juga dengan wacana penyatuan (unifikasi) BPD-BPD syariah di
Kalimantan?
Kewajiban unit
usaha syariah (UUS) perbankan untuk memisahkan diri dari induknya atau spin-off
mengikuti aturan yang dibuat regulator masih menghantui pelaku industri
perbankan. Pasalnya Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
menetapkan bahwa UUS yang dimiliki oleh Bank Umum Konvensional (BUK) harus
melakukan spin-off selambat-lambatnya 15 tahun setelah penerbitan
undang-undang. Dengan kata lain, UUS harus terpisah dari induk BUK sebelum
tahun 2023 berakhir. Kewajiban ini juga berlaku untuk UUS yang sudah memiliki
nilai aset 50 persen dari total nilai bank induknya. Jika kewajiban ini tidak
diterapkan, maka pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini,
dapat mencabut izin usaha Sertifikat Badan Usaha (PBI nomor 11/10 / PBI / 2009
pasal 43 (1)).
Pandemi Covid-19
kian mempersulit persiapan UUS untuk spin-off. Tekanan ekonomi dari Covid-19
semakin membuat pelaku industri perbankan kesulitan untuk melaksanakan
kewajiban tersebut. Direktur Jasa Keuangan Syariah Komite Nasional Ekonomi dan
Keuangan Syariah (KNEKS) Taufik Hidayat mengatakan KNEKS menilai dari 20 UUS
yang ada saat ini, terdapat 9 hingga 12 UUS masih belum siap menghadapi
deadline spin-off tahun 2023 atau sekitar 50 persen dari jumlah UUS di
Indonesia. Jumlah tersebut didominasi oleh UUS Bank Pembangunan Daerah (BPD).
Setidaknya ada
tiga skenario kewajiban spin off UUS BPD yang tertuang dalam Undang-Undang,
yakni konversi BPD menjadi BPD Syariah, unifikasi UUS BPD, atau UUS BPD
mengembalikan izin usaha dan menjual asetnya ke bank syariah lain. Sejak diundangkan
pada tahun 2008, terdapat 3 UUS BPD yang telah berubah menjadi BUS, yaitu spin
off UUS BJB Syariah (2010), konversi Bank Aceh menjadi Bank Aceh Syariah (2016)
dan terakhir konversi Bank NTB menjadi Bank NTB Syariah (2018).
“Rencana merger akan melibatkan 13 UUS yang berasal
dari BPD Sumut, Jambi, Riau, Sumsel Babel, DKI, Jateng, Yogyakarta, Jatim,
Kalsel, Kalbar, Kaltim, Sulselbar, dan Nagari Sumbar, serta satu Bank Umum
Syariah yakni Bank BJB Syariah”. Ujar Alfi Wijaya sebagai komite perbankan syariah
pengurus pusat MES.
Per Desember
2020, terdapat 13 UUS BPD, dua di antaranya sedang menyiapkan konversi menjadi
BUS, yaitu Bank Riau Kepri dan Bank Nagari. Bahkan, Bank Nagari sudah
mengantongi hasil RUPS pada 2019 yang menyetujui konversi dengan total suara
setuju sebesar 56 persen, sementara 44 persen memilih spin off. Meskipun sudah
dua tahun berjalan, Bank Nagari masih dalam tahap awal untuk konversi. Memang
banyak pihak yang mendukung proses spin off dan konversi BPD syariah, namun
minimnya kajian riset yang komprehensif serta lemahnya komitmen selama proses
konversi membuat banyak BPD terjebak dalam dilema pilihan spin-off atau
konversi.
Permasalahan
mendasar terkait konversi dan spin off adalah belum adanya pedoman khusus
sebagai arahan perencanaan dan landasan teknis dalam masa transisi spin off.
Regulasi yang ada hanya memberi pedoman bagaimana operasional sebagai UUS dan
operasional sebagai BUS. Tidak ada arahan operasional selama masa transisi
konversi dan spin off. Padahal, banyak hal yang harus ditempuh, mengingat
proses spin off banyak menyentuh aspek hukum dan kepatuhan.
“Itu sebabnya dalam masa transisi harus didukung
dengan kebijakan dan insentif untuk meringankan proses konversi dan spin off
BPD. Namun, insentif spin off, seperti keringanan setoran modal minimum BUS Rp
500 miliar dan pengunduran pemenuhan kepemilikan maksimal 40 persen hingga
tahun 2028, dianggap belum cukup mengimbangi konsekuensi yang akan dihadapi.
Keberadaan insentif penting untuk menunjang dan meningkatkan pangsa pasar
perbankan syariah”. Ujar
Hanawijaya Direktur Bnk BPD Kalsel.
Spin off
membutuhkan permodalan dari induknya untuk menyediakan modal anak usahanya. Hal
tersebut tidak mudah bagi beberapa bank termasuk Bank Pembangunan Daerah (BPD).
POJK No.12/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum mewajibkan modal inti minimum
Bank Umum sebesar Rp 3 triliun paling lambat akhir 2022. Namun, bagi BPD
diberikan tenggat waktu hingga akhir 2024.
Dalam POJK No
59/2020 tentang syarat dan tata cara pemisahan UUS mensyaratkan modal disetor
pendirian BUS hasil pemisahan paling kurang Rp 1 triliun dalam bentuk tunai.
Artinya, UUS BPD yang akan melakukan pemisahan murni, perlu menyiapkan modal
inti minimum Rp 1 triliun. Tentu ini bukan nominal yang kecil untuk pemerintah
daerah sebagai pemegang saham BPD, mengingat pemda juga membutuhkan banyak dana
untuk penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi daerah.
“konsolidasi di antara bank-bank yang baru dipisah
dari induknya dapat membantu mereka mencapai skala ekonomi, memungkinkan mereka
untuk menjadi lebih kompetitif”.Ujar Kindy Miftah selaku Chief Strategy Young Islamic
Bankers.
Pada Saat ini,
tren merger dan konsolidasi perbankan nasional dan internasional bakal
melahirkan bank-bank yang besar dan kuat. Tetapi di sisi lain, Unit Usaha Syariah
malah didorong untuk spin off atau konversi dalam waktu yang sangat sempit.
Dikhawatirkan konversi dan spin off yang prematur, justru menciptakan bank-bank
syariah yang kecil dan lemah, sehingga akan sulit bersaing. Hal ini
mencerminkan kontradiksi dan aturan yang belum terintegrasi.
KNEKS berharap
keputusan spin-off sebaiknya diserahkan kepada corporate action masing-masing
bank, bukan atas amanat undang-undang. Hal ini karena setiap UUS membutuhkan
treatment dan timeline yang berbeda dalam pengembangan bisnisnya, sehingga
sebaiknya tidak diatur seragam terkait waktu spin-off. UUS diharapkan tetap
bisa memanfaatkan skema full-leveraged model dan struktur permodalan dari bank
induknya, sehingga secara gradual dapat meningkatkan skala bisnis sebelum spin-off
menjadi BUS.
Pada akhirnya,
semua stakeholder industri harus menyadari bahwa filosofi spin off bukanlah
sebatas membuat industri perbankan syariah "lebih syariah" atau hanya
sekadar memperbesar pangsa pasar perbankan syariah nasional, tetapi sebagai
langkah penguatan perbankan syariah agar tumbuh kuat di tengah kompetisi bisnis
perbankan yang semakin ketat.